Media massa sepanjang sejarahnya telah menimbulkan banyak dampak, baik itu yang bersifat positif maupun tak jarang pula yang bersifat negatif. Seperti yang dikatakan Stanley Baran dan Dennis Davis (2003) yang dikutip Krisna Adriyanto (2010), bahwa media telah menjadi alat utama dimana kita semua mengalami atau belajar mengenai banyak aspek mengenai dunia disekitar kita. Tetapi, cara yang digunakan media dalam melaporkan suatu peristiwa dapat berbeda secara signifikan. Kajian budaya adalah perspektif teoritis yang berfokus bagaimana budaya dipengaruhi oleh budaya yang kuat dan dominan. Sedangkan Stuart Hall mengatakan bahwa media merupakan alat yang kuat bagi kaum elite. Media berfungsi untuk mengkomunikasikan cara-cara berfikir yang dominan, tanpa mempedulikan efektifitas pemikiran tersebut. Media merepresentasikan ideologi dari kelas yang dominan di dalam masyarakat. Karena media dikontrol oleh korporasi (kaum elite), informasi yang ditampilkan kepada publik juga pada akhirnya dipengaruhi dan ditargetkan dengan tujuan untuk mencapai keuntungan. Pengaruh media dan peranan kekuasaan harus dipertimbangkan ketika menginterpretasikan suatu budaya.
Dari pernyataan di atas dapatlah kita tarik garis lurus bahwa media secara tidak langsung ikut bertanggung jawab atas perkembangan suatu bangsa dilihat dari perspektif budayanya. Nah, dari sinilah titik permasalahan yang ada, dari budaya itu sendiri saat ini muncul beberapa budaya atau kebiasaan-kebiasaan baru. Salah satunya adalah budaya “Alay” yang merupakan singkatan dari Anak LAYangan atau ada juga yang menyebutnya sebagai Anak Lebay yaitu yang memiliki gaya yang keterlaluan, berlebihan atau tidak lazim.
Budaya ini lahir dari pengaruh media massa yang merupakan akar dari globalisasi. Arus globalisasi yang semakin tak dapat dikendalikan menjadikan masyarakat Indonesia lebih khususnya kalangan anak muda atau generasi muda menjadi semakin tak karuan. Seperti budaya alay ini, dapat kita lihat dimana-mana remaja telah terkontaminasi oleh budaya tersebut. Seakan-akan telah lupa dengan budaya asli. Padahal kita ketahui bersama bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai budayanya sendiri. Hal ini terlihat pada gaya bicara alay yang berlebihan.
|
Sumber : http://www.facebook.com./guebencitulisanalay |
Budaya alay itu sendiri muncul tak jelas kapan, ada yang menyebutkan baru-baru ini namun tidak pasti kapannya dan siapa pencetus pertamanya atau pendirinya pun masih merupakan misteri. Cara melihatnya hanya dapat ditelusuri dari dampak-dampak yang dibawa budaya tersebut. Seperti pada tahun 2000 mulai muncul plat nomor yang terbilang nomor “cantik”, karena merupakan rangkaian dari angka-angka yang dapat menyerupai nama si pemilik. Contohnya: N 1 SA. Selain itu kita juga dapat melihat gejala-gejala alay dari cara menulis SMS (Short Message Service). Tak jarang yang menggunakan kata-kata atau simbol-simbol yang aneh dan susah dibaca serta huruf besar dan kecil dalam satu kata, menggunakan angka dan disingkat-singkat pendek. Contohnya: kata kamu yang biasanya ditulis “kamuh” atau “kamyu” bahkan bisa juga “k.muh”. Atau kata siapa yang biasanya ditulis “siappva”, I Love You ditulis I Lup U dan masih banyak lagi contoh yang lain.
Selain kata-kata itu ada pula kata-kata yang sering diucapkan oleh anak alay dalam kahidupan sehari-hari. Misalnya kata “lebay” yang biasanya sering dikatakan bagi orang-orang yang berprilaku atau bersikap yang yang berlebihan atau dilebih-lebihkan. Atau kata “cyin” yang merupakan singkatan dari cinta, ada pula “secara gito loh”, “ya iyalah” dan lain-lain. Salah satu kehebatan dari bahasa alay ini adalah munculnya laman alay text generator (http://alay text generator.com), yang bisa menerjemahkan bahasa Indonesia baku menjadi bahasa alay secara otomatis saat kita mengaplikasikan laman ini. Ada pula laman twitalay, (http://twit4lay.apps.arkalogic.com), yakni generator untuk twitter bagi mereka yang ingin update tweet dengan bahasa alay.
|
Sumber : http://www.facebook.com./antibangetanakalay |
Virus alay ini awalnya berkembang di dunia maya, namun seiring dengan waktu, tak hanya di dunia maya, di dunia nyata pun virus ini pun berkembang. Fenomena alayers (sebutan bagi kaum alay) ini merebak di segala kalangan masyarakat, khususnya remaja dan termasuk di dalamnya pada mahasiswa/i. Banyak disekitar kita para mahasiswa yang mengadopsi bahasa ini dan dipakai di kehidupan sehari-hari. Mulai dari gaya bahasa yang sengaja dilebih-lebihkan sampai pada perubahan tingkah laku. Hal ini tak luput dari pengaruh media massa. Seperti di televisi, terdapat beberapa selebritis atau presenter yang kerap berprilaku dan berbahasa “alay”. Sehingga para penonton yang tidak dapat menyaring pesan-pesan yang disampaikan langsung mengadopsi pesan tersebut, walaupun mereka tahu bahwa kebudayaan itu dapat mengikis budaya asli. Bahasa Indonesia misalnya. Terkadang bila kita terlampau berbahasa Indonesia yang baik dan benar dianggap tidak “gaul” atau kampungan. Sedangkan bila menggunakan bahasa gaul atau bahasa alay dianggap generasi bangsa masa kini.
Padahal sesungguhnya tidaklah demikian. Justru para pengadopsi budaya baru tersebut yang tergolong kampungan dan berpendidikan rendah karena budaya alay sendiri lahir dari ketidaktahuan penciptanya, sehingga dapat dipastikan suatu hari nanti kebiasaan berbahasa alay akan hilang dengan sendirinya.
Daftar Pustaka:
Femina Online, 20-26 Februari 2010
Fajar Fadhillah. 2010. “Haruskah Mencaci “Alay” ??” dalam http://humaniora. kompasiana.com diakses tanggal 9 Oktober 2010 jam 06.15 WIB.
Smokeragon. 2010. “Sejarah Alay Generator” dalam http://smokeragon.blogspot.com diakses tanggal 10 Oktober 2010 jam 07.55 WIB.
Krisna Adriyanto. 2010. “Teori Komunikasi: Kajian Budaya” http://krisnaadriyanto. blogspot.com diakses tanggal 10 Oktober 2010 jam 08.15 WIB.